Selasa, 14 Juni 2011

fiSIOlogi trombosit

FISIOLOGI TROMBOSIT

1. Trombopoiesis

Trombosit adalah fragmen sitoplasmik tanpa inti berdiameter 2-4 mm yang berasal dari megakariosit. Hitung trombosit normal di dalam darah tepi adalah 150.000 – 400.000/uL dengan proses pematangan selama 7-10 hari di dalam sumsum tulang. Trombosit dihasilkan oleh sumsum tulang (stem sel) yang berdiferensiasi menjadi megakariosit (Candrasoma,2005). Megakariosit ini melakukan replikasi inti endomitotiknya kemudian volume sitoplasma membesar seiring dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatannya. Kemudian sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan dalam bentuk platelet/keping-keping. Enzim pengatur utama produksi trombosit adalah trombopoietin yang dihasilkan di hati dan ginjal, dengan reseptor C-MPL serta suatu reseptor lain, yaitu interleukin-11 (A.V Hoffbrand et al, 2005). Trombosit berperan penting dalam hemostasis, penghentian perdarahan dari cedera pembuluh darah (Guyton,1997; Sherwood,2001).

2. Struktur Trombosit

Trombosit memiliki zona luar yang jernih dan zona dalam yang berisi organel-organel sitoplasmik. Permukaan diselubungi reseptor glikoprotein yang digunakan untuk reaksi adhesi & agregasi yang mengawali pembentukan sumbat hemostasis. Membran plasma dilapisi fosfolipid yang dapat mengalami invaginasi membentuk sistem kanalikuler. Membran plasma ini memberikan permukaan reaktif luas sehingga protein koagulasi dapat diabsorpsi secara selektif. Area submembran, suatu mikrofilamen pembentuk sistem skeleton, yaitu protein kontraktil yang bersifat lentur dan berubah bentuk. Sitoplasma mengandung beberapa granula, yaitu: granula densa, granula a, lisosome yang berperan selama reaksi pelepasan yang kemudian isi granula disekresikan melalui sistem kanalikuler. Energi yang diperoleh trombosit untuk kelangsungan hidupnya berasal dari fosforilasi oksidatif (dalam mitokondria) dan glikolisis anaerob (Aster,2007; A.V Hoffbrand et al, 2005; Candrasoma,2005).


3. Fungsi Trombosit

Trombosit memiliki banyak fungsi, khususnya dalam mekanisme hemostasis. Berikut fungsi dari trombosit (A.V Hoffbrand et al, 2005):
Mencegah kebocoran darah spontan pada pembuluh darah kecil dengan cara adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi (hemostasis).
Sitotoksis sebagai sel efektor penyembuhan jaringan.
Berperan dalam respon inflamasi.
Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat dijelaskan sebagai berikut : Adanya pembuluh darah yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel endotelnya rusak dan terpaparnya jaringan ikat kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh darah yang mengalami trauma akan mengerut (vasokontriksi). Kemudian trombosit melekat pada jaringan ikat subendotel yang terbuka atas peranan faktor von Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX (proses adhesi). Setelah itu terjadilah pelepasan isi granula trombosit mencakup ADP, serotonin, tromboksan A2, heparin, fibrinogen, lisosom (degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat satu sama lain atas bantuan ADP dan tromboksan A2 (proses agregasi). Kemudian dilanjutkan pembentukan kompleks protein pembekuan (prokoagulan). Sampai tahap ini terbentuklah hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan ini akan dilisiskan jika jaringan yang rusak telah mengalami perbaikan oleh jaringan yang baru. (Candrasoma,2005; Guyton,1997; A.V Hoffbrand et al, 2005).
GANGGUAN PERDARAHAN
Ganguan pada setiap mekanisme hemostasis dapat menimbulkan perdarahan abnormal atau trombosis abnormal (tabel 1). Terlepas dari mekanismenya, apapun penyebabnya, manifestasi klinis gangguan perdarahan yang ditunjukkan hampir sama adalah hampir sama (tabel 2). Oleh karena itu, uji laboratorium umumnya diperlukan untuk mendapatkan diagnosis klinis yang sesuai setelah itu dipilih terapi yang sesuai (Candrasoma,2005).
Tabel 1 : Gangguan perdarahan; Penyebab utama
No
Penyebab Utama
Gangguan Perdarahan
1.
Cacat Vaskular
a. Purpura sederhana dan senilis(peningkatan fragilitas kapiler, khususnya pada usia lanjut)
b. Vaskulitis hipersensitivitas, banyak gangguan autoimun (peradangan)
c. Kekurangan vitamin C (skorbut, kolagen defektif)
d. Amiloidisis (pembuluh yang gagal berkontriksi)
e. Adenokortikosteroid berlebih (terapeutik atau penyakit Cushing)
f. Telanglektasia hemoragik herediter (sindrom osler-weber-rendut)
g. Penyakit Ehlers-dahlons (kolagen defektif)
h. Purpura Henoch-schonlein
i. Sindrom marfan (elastin defektif)
2.
Gangguan Trombosit
a. Menurun (trombositopenia)
b. Fungsi trombosit abnormal
3.
Gangguan Koagulasi
a. Defesiensi faktor koagulasi
b. Keberadaan faktor antikoagulan
4.
Fibrinolisis Berlebihan
a. Koagulasi intravaskular diseminata
b. Fibrinolisis primer


Tabel 2 : Manifestasi klinis umum gangguan perdarahan
Perdarahan ke dalam kulit
a. Petekie : perdarahan fokal berukuran sebesar pentul
b. Purpura : multipel, berbentuk tidak beraturan atau lesi ungu oval (2-5 mm atau lebih besar)
c. Ekimosis (memar) : purpura konfluen; semuanya menunjukkan perubahan warna berurutan-merah, ungu, coklat-ketika eritrosit yang terekstavasasi terurai dalam jaringan.
d. Hematom : ekimosis meliputi daerah yang luas.
Perdarahan berlebihan atau memanjang
Pasca trauma, sering trauma minimal : pasca bedah (misalnya, pencabutan gigi), perdarahan spontan(tanpa riwayat trauma) ke dalam otot rangka, sendi, dan otak.
Perdarahan dari permukaan mukosa
Epistaksis, perdarahan pada gusi, hemoptisis, hematuria, dan melena.
Perdarahan dari berbagai lokasi


PURPURA TROMBOSITOPENI IDIOPATIK
1. Batasan
Purpura trombositopeni idiopatik (PTI) atau purpura trombositopeni autoimun adalah sindrom yang ditandai dengan trombositopenia akibat dekstruksi trombosit yang meningkat sebab proses imunologik (RS dr. Soetomo,2008).
2. Etiologi
Etiologi Purpura Trombositopeni Idiopatik (PTI) adalah adanya autoantibodi terhadap trombosit. Autoantibodi ini adalah platelet associated immunoglobulin G (PAIgG) yang disintesis di limpa. PTI dapat merupakan menifestasi awal suatu penyakit misalnya SLE, leukemia, dan limfoma (RS dr. Soetomo,2008). Riwayat penyakit purpura trombositopeni idiopatik atau autoimun ini terbagi dalam 2 bentuk yaitu akut dan kronis (Supandiman,1997).
3. Gejala klinis
Gejala utama adalah petekie dan perdarahan selaput lendir berupa epiktasis atau perdarahan di tempat lain. Bentuk Akut gejala perdarahan selaput lendir disertai petekie berjalan singkat. Bentuk kronis gejalanya berupa petekie diekstremitas bawah, jarang ditemukan perdarahan selaput lendir, pada wanita menorhagia satu-satunya gejala penyakit ini. Hendaknya disingkirkan trombositopenia sekunder/akibat obat (aspirin, barbiturat, kina, laksansia), infeksi, anemia aplastik (Supandiman,1997).
4. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menyingkirkan faktor-faktor sekunder yang dapat mengakibatkan trombositopenia kriteria Difino (1998), yaitu :
Perdarahan/ purpura/ purpura lebih pada satu lokasi.
Tidak ada perbesaran limpa.
Trombositopenia kurang dari 150.000/uL.
Aspirasi sutul : jumlah megakariosit normal atau meningkat, eritropoesis, dan mielopoesis normal.
Antiplatelet antibodi dapat positif.
Tidak ada penyakit lain penyebat trombositopeni, misalnya obat-obat, sepsis, koagulasi intravaskuler doseminata, SLE, leukemia, trombositopeni pasca transfusi.
Pada 75 % penderita terdapat peningkatan titer palsu yang terjadi karena antibodi nonspesifik misalnya pada sepsis, SLE rematoid, anemia hemolitik autoimun. Negatif palsu didapatkan bila antibodi yang beredar dalam sirkulasi sangat rendah karena antibodi banyak terikat pada trombosit. Teknik imunoflueresen : paling sensitif 92%, tetapi kurang spesifik 30%. Kadar antibodi platelet tidak berhubungan dengan derajat penyakit, hanya membantu diagnosis kadar Ab platelet berhubungan dengan jumlah trombosit sangat berarti menunjukkan prognosis, tetapi tidak dianjurkan sebagai dasar diagnosis (RS dr. Soetomo,2008).
a. Anamnesis
1) Riwayat obat (heparin, alkohol, sulfanamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan kimia.
2) Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan.
3) Gejala autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok.
4) Riwayat perdarahan (lokasi, banyak, lama), risiko HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan, dan kelainan autoimun).
5) Penyakit penyerta meningkatkan risisko perdarahan (kelainan gastrointestinal, sistem saraf pusat, dan urologi).
6) Kebiasaan/hobi: aktivitas yang traumatik.
b. Pemeriksaan fisik
1) Perdarahan (lokasi, dan beratnya).
2) Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit hati kronis.
3) Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV)
4) Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)
c. Pemeriksaan penunjang
1) Darah tepi: hitung trombosit <150.000/uL tanpa sitopenia lainnya, morfologi darah tepi dijumpai tromboblas berukuran lebih besar. 2) Pemeriksaan serologi (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella). 3) Pemeriksaan ACA, Coom’s test, C3, C4, ANA. Anti dsDNA. 4) Pemeriksaan hemostatis normal kecuali pada perdarahan yang memanjang dan komplikasi. 5) Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat. 6) Pemeriksan autoantibodi trombosit. Diagnosis banding Dengan trombositopenia sekunder misal pada hipersplenisme, dan kelainan infiltrasi sumsum tulang oleh penyakit tertentu dapat diselesaikan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Waktu perdarahan memanjang pada kelainan vaskuler, seperti purpura nontrombositopenia. Tes konsumsi protrombin abnormal dapat ditemui pada penyakit defisiensi faktor pembekuan (faktor IX, faktorVIII/vWF dan lain-lain), (Supandiman,1997). Secara klinis perdarahan akibat trombositopeni harus dibuat diagnosis banding dengan trombostein, purpura vaskuler, dan defisiensi faktor koagulasi. Endokarditis bakteria subakut terdapat petekie dan splenomegali serupa PTI, tetapi endokarditis ada febris dan kelainan jantung. Trombositopeni sekunder biasanya dilakukan atas dasar kelainan fisik tidak ditemukan pada PTI hepatosplenomegali. Limfadenopati pada leukemia (Supandiman,1997). Tabel 3 : Diagnosis banding adanya adanya trombositopeni Kelainan imunologi Kelainan non imunologi Pemeriksaan yang bermanfaat a. True ITP b. Terkait obat c. SLE d. Terkait HIV-1 e. Purpura pasca transfusi a. DIC b. Septikemia bakterial c. TTP d. Terkait etanol e. Perdarahan darah masif f. Toksemin g. Kelainan Herediter Pemeriksaan darah a. ANA b. ELP serum c. HIV-1 antibody d. PTT e. APTT f. Biakan darah Pemeriksaan lain BMA dan biopsi hati, limpa, dan USG atau CT scan retroperitoneal. (RS dr. Soetomo,2008) 5. Penatalaksanaan Pilihan awal: kortikosteroid Yang sering digunakan prednison, dosis 1 mg/ kg BB / hari selam 1-3 bulan. Bila diperlukan parenteral(injeksi) Methylprenison sodium suxinat dosis 1g/hari selama 3 hari (RS dr. Soetomo,2008). Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila responsif dosis diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 50.000/mm3 (RS dr. Soetomo,2008). Pemberian prednison maksimal selama 6 bulan. Apabila lebih dari 4 minggu pasien tidak berespon dengan prednison, prednison jangan diberikan lagi. Hasil terapi : Respon lengkap : ada perbaikan klinis + trombosis tercapai ≥100.000/mm3 dan tidak terjadi trombositopeni berulang bila dosis steroid diturunkan. Respon parsial : perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dan dengan jangka waktu 6 bulan. Respon minimal : perbaikan klinis + trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerluka steroid dosis rendah untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu > 6 bulan
Tidak ada respon : tidak ada perbaikan klinis dannkelainan trombosit tidak dapat mencapai 50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal (RS dr. Soetomo,2008).
b. Splenektomi
Bila terapi steroid dianggap gagal, segera dilanjutkan splenektomi. Angka keberhaslan 70-100%. Splenektomi bertujuan untuk mencegah dekstruksi trombosit yang telah diliputi antibodi dan menurunkan sintesis antibodi platelet (RS dr. Soetomo,2008).
Indikasi Spelektomi : Gagal remisi/perbaikan dengan steroid dalam 6 bulan, perlu dosis maintance steroid yang tinggi, dan adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap steroid (RS dr. Soetomo,2008)..
c. Imunosupresi lain
Bila terjadi refrakter tehadap terapi kortikoteroid dan splenektomi, maka akan diberikan imunosupresi lain :


Tabel 4 : Jenis-jenis imunosupresi
Imunosupresi
Dosis
Gamma globulin i.v
0,4 mg/kg i.v /hari selama 5 hari
Vincristine
2 mg i.v /minggu sebanyak 3 dosis
Danazol(preparat androgen)
200mg/ p.o 4x /hari
Cyclophospamid
2mg/.kg/hari/ p.o
Kombinasi kemoterapi

Imunoglobulin diperkenalkan sejak 1981 hasil perlu penelitian lebih lanjut. Bila terjadi perdarahan darurat (perdarahan otak, dan persalinan) dapat diberikan imunoglobulin, kortikosteroid, transfusi trombosit, dan splenoktomi darurat (RS dr. Soetomo,2008).
d. Terapi suporti PTI kronis
Membatasi aktivitas yang berisiko trauma.
Hindari obat yang ganggu fungsi trombosit.
Transfusi PRC sesuai kebutuhan.
Transfusi perdarahan bila : perdarahan masif, adanya ancaman perdarahan otak/SSP, persiapan untuk operasi besar (RS dr. Soetomo,2008).
. e. Perawatan rumah sakit untuk pasien dengan:
Perdarahan berat yang mengancam jiwa.
Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna. Trombosit >50.000/ul asimtomatik/dengan purpura minimal tidak diterapi.
Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan bermakna, Kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa (RS dr. Soetomo,2008). 6. Komplikasi Peradarahan masif: saluran cerna, otak, DIC Anemia Berkembang ke arah keganasan atau penyakit autoimun lain (20%) Menjadi leukemia dan limfoma (3,8 %) Menjadi SLE (4 %) Kasus fatal dengan sebab kematian : 1) Perdarahan intrakranial (11%) 2) Sepsis pasca splenoktomi atau pasca terapi imunosupresif (RS dr. Soetomo,2008 g. Infeksi, ITP berat, DM induiced steroid, hipertensi, immunocompromised (RS dr. Soetomo,2008). 7. Prognosis Faktor yang berpengaruh Umur : pada orang muda prognosis lebih baik Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif menentukan risiko perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko perdarahan intrakranial meningkat, semakin tinggi pada usia lanjut. Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan splenektomi. Menurunnya kadar antibodi menunjukkan respon terapi yang baik a. Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau imunosupresif lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008). Baik penurunan dalam jumlah, maupun kelainan fungsi thrombosit menyebabkan masa perdarahan memanjang dan retraksi bekuan abnormal. Hitung thrombosit menunjukkan jumlah thrombosit yang ada didalam sirkulasi. Untuk mengetahui berapa banyak thrombosit yang diproduksi dan menilai morfologi thrombosit perlu dilakukan pemeriksaan sumsum tulang. Bila jumlah thrombosit normal tetapi gejala klinik dan test penyaring menunjukkan kelainan thrombosit, perlu dilakukan test fungsi thrombosit. Gangguan Fungsi Thrombosit Penurunan jumlah thrombosit lebih sering dijumpai daripada gangguan fungsi thrombosit. Sebagian besar gangguan fungsi thrombosit terjadi sebagai bagian dari penyakit lain, kelainan fungsi thrombosit kongenital jarang dijumpai. Salah satu kelainan fungsi thrombosit yang paling sering dijumpai adalah penyakit von Willebrand, tetapi penyakit ini bukan penyakit thrombosit primer. Hasil Pemeriksaan Laboratorium : - Hasil laboratorium masa perdarahan dan PTT yang memanjang akibat karena kelainan vaskuler dan faal thrombosit. - Percobaan pembendungan sering positif - Masa prothrombin biasanya normal. - Jumlah thrombosit dan retraksi bekuan biasanya normal. - Ada kelainan yang khas pada aktivitas thrombosit yang bila dipaparkan terhadap ristosetin, thrombosit penderita tidak mampu menggumpal, agregasi dan thrombosit pada gelas berkurang, dan bila disalurkan melalui pipa saringan dari butir-butir gelas, thrombosit tidak dapat melekat karena adhesi berkurang. Gangguan Fungsi Thrombosit Sekunder Uremia berat mengganggu reaksi penglepasan yang merupakan salah satu fungsi thrombosit, thrombosit penderita pada kelainan ini bersifata abnormal, dan thrombosit normal yang ditransfusikan kepada penderita ini juga menjadi abnormal. Perdarahan dibawah kulit atau mukosa, sering merupakan komplikasi uremia. Walaupun dialisis sering mengembalikan fungsi thrombosit menjadi normal, perdarahan mungkin tetap sulit diatasi. Thrombosit mungkin tidak dapat berfungsi normal, bila didalam plasma terdapat protein abnormal dengan kadar yang tinggi, misalnya pada mieloma multipel atau disproteinemia. Dampak yang sama juga dapat ditimbulkan oleh dekstran dengan berat molekul tinggi. Adanya produk degradasi fibrin / fibrinolisis (FDP) menghambat agregasi thrombosit, maupun reaksi penglepasan. Hati yang normal membersihkan FDP yang terbentuk akibat trauma-trauma kecil dan perbaikan luka yang terjadi sehari-hari dari sirkulasi. Pada penyakit hati yang berat fungsi thrombosit menjadi abnormal dan akibat ketidakmampuan hati untuk membersihkan FDP, gangguan fungsi thrombosit menjadi bertambah berat. Peningkatan jumlah thrombosit yang menyertai sindrome mieloproliperatif seringkali merupakan predisposisi untuk dua hal yang berlawanan yaitu perdarahan dan kecenderungan thrombosis. Kelainan Thrombosit Akibat Obat Banyak jenis obat yang mengganggu fungsi thrombosit, aspirin merupakan salah satu obat yang paling sering menyebabkan gangguan ini. Segera setelah terpapar pada aspirin, proses penglepasan yang merupakan fungsi thrombosit terganggu selama thrombosit itu hidup. Obat antiinflamasi lain mungkin mempunyai efek yang sama. Obat-obat antihistamin, antidepresan dan metilxantin adalah beberapa diantara obat-obat yang menyebabkan penurunan fungsi thrombosit demikian rupa, sehingga sering menunjukkan hasil test laboratorium yang membingungkan, walaupun jarang menimbulkan gejala klinik. Etil alkohol menghambat agregasi oleh ADP, hal ini mungkin menunjukkan gejala yang bermakna, terutama pada penderita yang faal hatinya terganggu akibat alkohol. Penurunan Jumlah Thrombosit Thrombositopenia dapat terjadi akibat penurunan sistesis thrombosit atau kehilangan thrombosit berlebihan. Kehilangan ini mungkin terjadi akibat perdarahan atau karena destruksi langsung, pemakaian thrombosit atau karena thrombosit tertahan oleh limpa secara berlebihan sehingga thrombosit dalam sirkulasi darah mengalami penurunan jumlah. Penurunan Produksi Walaupun penurunan thrombopoesis biasanya merupakan sebagian dari kelainan sumsum tulang, thrombositopenia sendiri merupakan aspek yang sangat penting dan paling sering menimbulkan masalah pada anemia aplastik akibat obat, dan keganasan sumsum tulang. Penyebab : Karena pemakaian obat kemoterapeutik untuk mengobati leukemia dan tumor ganas sering menyebabkan thrombositopenia berat, maka transfusi thrombosit sudah merupakan bagian dari prosedur baku bagi pengobatan penyakit-penyakit tersebut. Relatif sedikit obat yang mengganggu produksi thrombosit secara selektif. Klorotiazide menyebabkan thrombositopenia pada sekitar 25% dari jumlah orang yang memakan obat ini, tetapi hal ini jarang menimbulkan perdarahan. Alkohol menekan produksi thrombosit, oleh karena itu jumlah thrombosit yang rendah dijumpai pada peminum alkohol yang diperiksa pada saat atau segera setelah minum alkohol, maupun setelah minum alkohol secara terus menerus. Infeksi virus kadang-kadang mengganggu produksi thrombosit dan disamping itu mungkin pula merusak thrombosit yang ada dalam sirkulasi, beberapa jenis virus yang sering menimbulkan kelainan diatas adalah virus influenza, rubella dan virus mononukleosis infeksiosa. Gambaran Laboratorium : - Hitung jumlah thrombosit menurun atau rendah. Mungkin dibawah 100.000/ mm3 darah tergantung dari beratnya kehilangan thrombosit atau lemahnya sintesa. Pada umumnya, jika morfologi dan fungsi trombosit normal, perdarahan tidak terjadi jika jumlah trombosit lebih dari 100.000/ul. Jika jumlah trombosit di atas 40.000/ul, biasanya tidak terjadi perdarahan spontan tetapi dapat terjadi perdarahan berat setelah trauma. - Percobaan pembendungan positif ditemukan ptechiae - Masa prothrombin biasanya normal. Kehilangan Thrombosit Dalam Sirkulasi Dalam keadaan normal limpa mengandung sampai 2/3 jumlah thrombosit yang beredar, walaupun beberapa thrombosit rusak pada saat melewati limpa itu. Splenomegali meningkatkan jumlah thrombosit yang ditahan dan dirusak oleh limpa sehingga waktu paruh thrombosit menjadi lebih pendek. Penyakit hati, hipertensi portal dan limfoma merupakan penyebab splenomegali dan menurunkan jumlah thrombosit. Karena thrombosit dapat melekat pada permukaan endotel yang rusak, jumlah thrombosit sering berkurang terutama pada keadaan dengan kerusakan endotel yang luas, beberapa contoh diantaranya adalah penyakit Rocky mountain spotted fever dan septikemia meningokokus. Pada kasus-kasus ini infeksi dan kerusakan kapiler secara lokal menyebabkan perdarahan dan thrombositopenia, jadi bukan thrombositopenia yang menyebabkan perdarahan. Gambaran Laboratorium : Hitung Thrombosit rendah (tergantung penyebabnya) sedangkan pemeriksaan faal hemostasis lain umumnya dalam batas normal. Destruksi Secara Imunologis Penurunan jumlah thrombosit dalam darah tepi oleh karena mekanisme imun atau proses imune yaitu reaksi yang terjadi antara antigen dari luar atau dari dalam dengan antibodi yang terdapat dalam tubuh Alloantibodi Thrombosit dapat dirusak oelh autoantibodi, alloantibodi atau oleh interaksi antibodi dengan obat. Alloantibodi relatif jarang menimbulkan masalah kecuali pada penderita dengan thrombositopenia yang mendapat transfusi thrombosit berulang kali dan membentuk antibodi terhadap antigen HLA. Penderita yang menunjukkan gejala demikian, tidak dapat menerima transfusi thrombosit dari donor secara acak, tetapi memerlukan donor khusus dengan fenotipe HLA yang sesuai. Antibodi terhadap antigen thrombosit spesifik lebih jarang lagi dijumpai, biasanya antibodi itu merupakan anti-thrombosit-A1 (anti P1A1) yang ditimbulkan karena imunisasi pada kehamilan. Kadang-kadang anti-P1A1 yang terdapat dalam darah ibu melewati plasenta dan merusak thrombosit janin, bayi yang dilahirkan menderita thrombositopenia alloimune. Jenis thrombositopenia neonatal ini analog dengan penyakit hemolitik pada neonatus (HDN, hemolytic disease of the newborn). Bila purpura dan bahaya perdarahan mengharuskan transfusi dengan thrombosit P1A1-negatif, maka donor yang paling tepat adalah ibunya sendiri, bila keadaan klinik ibu mengizinkan. Wanita dengan P1A1-negatif mungkin menunjukkan thrombositopenia, 6-7 hari sesudah transfusi dengan darah lengkap atau erithrosit, tetapi kasus ini jarang dijumpai. Pada purpura pascatransfusi ini thrombosit penderita sendiri dihancurkan tetapi pencetus sebenarnya adalah pemaparan terhadap darah P1A1-positif yang berasal dari transfusi. Pembentukan kompleks imun mungkin menimbulkan masalah. Transfusi dengan thrombosit memperberat penyakit, dan terapi yang paling baik dalam hal ini adalah mengganti plasma penderita dengan plasma lain. Obat-Obat dan Pembentukan Kompleks Imun Banyak obat yang menimbulkan kasus thrombositopenia akut, sebagian besar merupakan kasus idiosinkrasi. Yang paling sering menimbulkan kelainan ini adalah kuinine dan kuinidin, sedangkan digitalis, heparin, tiazide dan aspirin kurang sering menimbulkan kompleks imun. Penyebab : Yang khas bahwa antibodi yang timbul ditujukan terhadap obat dan bukan terhadap thrombosit, bila obat itu diadsorpsi oleh thrombosit, maka antibodi terhadap obat sekaligus juga merusak thrombosit ini. Adsorpsi obat oleh thrombosit terjadi bila kadar obat dalam plasma cukup tinggi. Untuk pembentukan antibodi terhadap kuinine dan obat lain yang aktivitasnya sama, tidak diperlukan dosis obat yang tinggi. Antibodi berikatan dengan obat dan membentuk kompleks imun yang merupakan suatu makromolekul yang tidak larut, kemudian mengendap pada permukaan thrombosit dalam sirkulasi. Kompleks imun ini mengaktivasi komplemen, dan karena kompleks ini melekat pada thrombosit, aktivitas komplemen mengakibatkan thrombosit rusak. Walaupun antibodi maupun komplemen tidak mempunyai afinitas khusus terhadap thrombosit, tetapi thrombositlah yang dalam hal ini menjadi korban yang tidak bersalah dengan hancurnya sel ini. Thrombositopenia Autoimune Penyakit yang dahulu disebut idiopathic thrombocytopenic purpur (ITP) terjadi akibat adanya antibodi kelas IgG yang melapisi thrombosit hingga thrombosit ini segera dihancurkan oleh limpa. Antibodi melapisi thrombosit penderita maupun thrombosit donor yang ditransfusikan kepada penderita. Istilah ITP masih tetap dipakai dengan pengertian bahwa berasal dari autoimun. Banyak peneliti yang telah membuktikan patogenesis penyakit ini, tetapi pada penderita-penderita tertentu tidak mudah menegakkan diagnosis ITP, karena tidak ada test in vitro yang baik untuk menyatakan antibodi itu didalam plasma. Dibanyak laboratorium tidak ada prosedur untuk menyatakan adanya IgG pada thrombosit, laboratorium rujukan menggunakan test konsumsi antiglobulin, test antiglobulin dengan petanda radioaktif atau memeriksa IgG yang ada pada permukaan thrombosit dengan menggunakan protein A dari staphylococcus yang diberi tanda dengan zat radioaktif. Seringkali diagnosis ITP ditegakkan dengan cara menyingkirkan penyebab thrombositopenia lain. Gambaran ITP yang khas adalah jumlah thrombosit dalam darah tepi berkurang dan megakariosit dalam sumsum tulang normal atau meningkat. Limpa, walaupun terjadi penghancuran thrombosit berlebihan, tidak membesar pada ITP. Kalaupun ada splenomegali, harus dicari sebab-sebab lain dari thrombositopenia selain ITP. Ada dua bentuk ITP yang menunjukkan gambaran klinisyang berbeda-beda. Bentuk akut, secara klinis analog dengan anemia hemolitik akut autoimun jenis antibodi dingin (cold antibodies) yang terjadi sesudah pneumonia mikoplasma atau virus, sedangkan yang kronik serupa dengan anemia hemolitik autoimun dengan autoantibodi jenis panas (warm antibodies). Gambaran Laboratorium : - Hemoglobin akan menurun sesuai dengan banyaknya perdarahan dan mungkin ditemukan retikulositosis dan makrositosis bila perdarahan hebat baru saja terjadi - Thrombosit jumlahnya menurun, bentuk thrombsit abnormal, ukurannya sering besar (3-4 um). - Pemeriksaan waktu perdarahan akan didapatkan memanjang disertai dengan torniquet test yang positif. - Retraksi bekuan kurang atau tidak ada - Pemeriksaan sumsum tulang akan menghasilkan sumsum tulang yang hiperplastis dimana akan ditemukan banyak megakariosit yang berbentuk agranuler (tidak mengandung thrombosit) - Pemeriksaan atas faktor koagulasi yang lain akan menghasilkan hasil yang normal kecuali test konsumsi prothrombin dan test generasi thromboplastin yang abnormal KELAINAN SEL DARAH MERAH Berdasarkan jumlah sel dan kadar hemoglobin yang merupakan bagian penting dari sel erytrosit,kelainan sel darah merah (erytrosit) dibedakan menjadi anemia bila jumlah atau kadarnya rendah dan polycythemia bila jumlahnya meningkat. WHO menetapkan kriteria diagnosis anemia bila kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl, kadar hemoglobin ini biasanya sebanding dengan jumlah erytrosit dan hematokrit. Sebaliknya, disebut polycythemia bila kadar hemoglobin lebih dari 18,0 g/dl dan jumlah erytrosit lebih dari 5,5 juta/uL disertai dengan peningkatan sel leukosit dan platelet. Dibanding polycythemia, penyakit anemia mempunyai prevalensi yang lebih tinggi terutama pada wanita. Pasien anemia tampak pucat, lesuh, lemah dan pusing karena reaksi tubuh yang kekurangan oksigen. Dampak dari penyakit anemia adalah menurunnya kualitas hidup, kinerja rendah, IQ rendah, sampai dengan kematian penderitanya. Pada ibu hamil, anemia bisa berakibat serius pada janin berupa keguguran atau cacat bawaan. Anemia terjadi karena menurunnya kadar hemoglobin yang terikat pada sel erytrosit atau jumlah erytrosit yang mengikat hemoglobin kurang. Penyebabnya dapat oleh karena kegagalan proses synthesis atau kualitas hemoglobin dan erytrosit yang dihasilkan tidak sempurna, pemecahan erytrosit abnormal, kehilangan darah masif, intake nutrient kurang atau merupakan penyakit sekunder akibat penyakit lain. Berdasarkan morfologi dan ukuran sel erythrosit, anemia diklasifikasikan menjadi: Anemia mikrositik, anemia normositik dan anemia makrositik. Klasifikasi yang lain, membagi anemia berdasarkan penyebabnya : * Iron deficiency anemia * Hemoglobinopathies - Sickle-cell disease - Thalassemia - Methemoglobinemia * Megaloblastic Anemia - Vit. B12 deficiency anemia - Folat deficiency anemia - Pernicious anemia * Hemolytic Anemia - Genetic disorders of RBC membrane - Hereditary spherocytosis - Hereditary elliptocytosis - Genetic disorders of RBC metabolism - G6PD deficiency - Pyruvate kinase deficiency - Immune mediated hemolytic anemia - Autoimmune hemolytic anemia - Alloimmune hemolytic anemia -Drug Induced - Paroxymal nocturnal hemoglobinuria (PNH) - Dyrect physical damage to RBCs mis microangiopathic * Aplastic Anemia - Fanconi anemia - Acquired pure red cell aplasia - Diamond-Blackfan anemia Mikrositik anemia – Anemia mikrositik terjadi karena karena gangguan sinthesis atau defect hemoglobin sehingga menyebabkan kadar hemoglobin yang terikat pada eritrosit menjadi rendah. Karena kadar hemoglobin rendah menyebabkan ukuran eritrosit lebih kecil (MCV kurang dari < 80 fl), dan ini merupakan bentuk kompensasi sel agar dapat lebih mudah kontak dengan oksigen dengan kadar hemoglobin terbatas . Anemia mikrositik paling sering disebabkan karena defesiensi zat besi (anemia defisiensi besi). Besi merupakan unsur esensial molekul heme, dimana heme merupakan bagian dari hemoglobin. Anemia defisiensi besi bisa disebabkan karena intake zat besi kurang atau mal-absorbsi, pendarahan kronis, keganasan yang menyebabkan pendarahan kronis atau infeksi cacing. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan hapusan darah tepi, dan dipastikan dengan menurunnya kadar serum iron (Fe), unsaturated iron binding capacity (UIBC) meningkat dan kadar simpanan besi (feritin) menurun. Diagnosa banding mikrositik anemia selain anemia defesiensi besi adalah anemia sideroblastik, dimana pada keduanya didapatkan gambaran morfologi sel eritrosit yang sama yakni hipokrom mikrositik. Tetapi pada anemia sideroblastik justru kadar serum iron meningkat, UIBC menurun dan feritin meningkat. Hal ini terjadi karena kegagalan pengikatan besi pada molekul hemoglobin (myelodysplastic syndrome) sehingga terjadi penumpukan besi pada daerah sekitar inti dan mitokondria. Sideroblas adalah erythroblast dengan granula besi di sekitar inti yang terlihat pada pengecatan besi. Penyebab anemia mikrositik yang lain adalah Hemoglobinopathies, dimana hemoglobin terbentuk dengan kualitas tidak sempurna. Thalassemia dan sickle cell anemia adalah kelainan konginetal pada synthesis protein globin yang merupakan bagian dari molekul hemoglobin. Struktur abnormal hemoglobin ini menyebabkan eritrosit lebih mudah beraglutinasi dan mengalami pemecahan sebelum waktunya. Normositik Anemia – Bila pada anemia mikrositik terjadi kelainan pada pembentukan hemoglobin, maka pada normositik anemia, kelainan disebabkan karena sel eritrosit yang merupakan “kendaraan” hemoglobin, kurang atau tidak cukup jumlahnya. Penyebabnya bisa pada proses pembuatan sel eritrosit (erythropoisis) terganggu, kehilangan sel darah merah dalam jumlah besar atau pemecahan sel yang tinggi. Karena kadar hemoglobin pada dasarnya cukup untuk setiap sel eritrosit maka volumenya masih normal (MCV 80 – 100 fl) Pemecahan sel eritrosit yang tinggi terjadi pada anemia hemolitik, misalnya pada autoimune hemolytic anemia (AIHA) atau pada hereditary spherocytosis atau ovalocytosis . Termasuk dalam AIHA adalah anemia yang disebabkan karena SLE, Idiopathic, Infectius mononucleosis, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria. Dalam penderita AIHA tubuh membentuk antibody abnormal yang bisa berikatan dengan sel eritrosit, akibat dari ikatan ini sel eritrosit akan mudah lisis. Pada anemia hemolitik atau pada anemia yang disebabkan karena pendarahan akut, akan didapatkan peningkatan sel reticulocyte, yakni sel eritrosit muda yang masih mengandung sisa-sisa ribosome. Peningkatan reticulosite ini mencerminkan adanya peningkatan aktifitas erythroid hematopoietic pada sumsum tulang untuk mengkompensasi kehilangan sel darah merah pada proses hemolitik maupun kehilangan sel akibat pendarahan. Peningkatan ini menunjukkan bahwa aktifitas “pabrik” pembuatan sel eritrosit masih berfungsi. Ini untuk membedakan penyebab dari kegagalan sinthesis. Sebaliknya, apabila gangguan terjadi pada proses erythropoeisis, menurunnya jumlah eritrosit tidak disertai peningkatan sel reticulocyte. Kasus ini dijumpai pada anemia aplastik dimana terjadi aplasia pada sel-sel erythropoeisis pada sumsum tulang atau pada gagal ginjal kronis dimana terjadi gangguan pada produksi hormone erythropoeisis. Anemia normositik dalam kenyataannya lebih sering merupakan secondary anemia, yang merupakan akibat dari penyakit yang lain misalnya anemia karena penyakit menahun, nephritis, rheumatoid arthritis, keganasan tanpa pendarahan kronis dan gagal ginjal kronis. Makrositik Anemia – Termasuk dalam type makrositik anemia adalah anemia megaloblastik. Anemia ini disebabkan karena proses pematangan inti sel erythroblast yang terganggu akibat kekurangan vitamin B12 dan folat yang merupakan zat yang dibutuhkan pada synthesis DNA. Produk yang dihasilkan akibat gangguan ini berupa eritrosit makrositik (MCV > 100fl) yang mudah pecah. Termasuk dalam kategori makrositik anemia adalah anemia pernisiosa, yang disebabkan karena mal absorbsi vitamin B-12.
A. Latar Belakang
Gangguan sel darah putih dapat mengenai setiap lapisan sel atau semua lapisan sel dan umumnya disertai gangguan pembentukan atau penghancuran dini.
Leukositosis menunjukkan peningkatan leukosit yang umumnya melebihi 10.000/mm3. Granulositosis menunjukkan peningkatan granulosit, tetapi sering digunakan hanya untuk menyatakan peningkatan neutrofil; jadi sebenarnya, neutrofilia merupakan istilah yang lebih tepat. Leukosit meningkat sebagai respons fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme. Terhadap respons infeksi atau radang akut, neutrofil meninggalkan kelompok marginal dan memasuki daerah infeksi; sumsum tulang melepaskan sumber cadangannya dan menimbulkan peningkatan granulopoiesis. Karena permin¬taan yang meningkat ini, bentuk neutrofil limatur, yaitu yang dinamakan neutrofil batang, yang memasuki sirkulasi meningkat, proses ini dinamakan “pergeseran ke kiri” (lihat Gambar Berwarna 19). Bila infeksinya mereda, maka neutrofil berkurang dan monosit meningkat (monositosis). Pada resolusi yang progresif, monosit berkurang dan terjadi limfositosis (limfosit bertambah) ringan, serta eosinofifia (eosinofil bertambah). Reaksi leukemoid menyatakan keadaan leukosit yang meningkat disertai peningkatan bentuk imatur yang mencapai 100.000/MM3. Ini akibat respons terhadap infeksi, toksik, dan peradangan serta terjadi juga pada keganasan, terutama payudara, ginjal, paru, dan karsinoma metastatik (Beck, 1991). Gangguan dengan terjadinya peningkatan umum dalam sel-sel pembentuk darah dinamakan gangguan mielo¬proliferatif.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan Definisi dari Netrofilia?
2. Jelaskan Sifat pertahanan netrofil dan makrofag terhadap infeksi?
3. Bagaimana fagositosis yang dilakukan oleh netrofil?
4. Bagaimana peran netrofil dan makrofag pada peradangan?
5. Bagaimana respon netrofil dan makrofag selama peradangan?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan definisi dari netrofil.
2. Agar dapat menjelaskan tentang sifat pertahanan netrofil dan makrofag terhadap infeksi.
3. Untuk memahami fagositosis yang dilakukan oleh netrofil.
4. Untuk memahami peran netrofil dan makrofag pada peradangan.
5. Untuk mengetahui respon netrofil dan makrofag selama peradangan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Neutrofilia
Neutrofilia juga terjadi sesudah keadaan stres, seperti kerja fisik berat atau penyuntikan epinefrin. Ini adalah “pseudoleukositosis” karena granulopoiesis dalam sumsum tulang tidak ditambah dan jumlah granulosit dalam tubuh sebenarnya tidak meningkat. Granulosit dilepaskan dan kelompok marginal sehingga jumlah granulosit yang dapat ditarik ke dalam alat penentuan sampel bertambah. Pengobatan dengan kortikosteroid juga mengakibatkan pseudoleukositosis. Kortikoste¬roid diduga meningkatkan pelepasan granulosit dari cadangan sumsum serta menghalangi marginasi ranulosit, yang mengakibatkan leukosit dalam sirkulasi bertambah. Eosinofilia terjadi pada gangguan kulit seperti mikosis fungoides dan eksema; keadaan alergi seperti asma dan hay fever; reaksi obat dan infestasi parasit. Eosinofilia juga ditemukan pada keganasan dan gangguan mieloproliferatif, seperti ada basofilia.
Monositosis ditemukan pada fase penyembuhan infeksi dan pada penyakit granuloma kronik seperti tuberkulosis dan sarkoidosis. Limfositosis menunjukkan
jumlah limfosit yang meningkat. Limfosit yang , diaktifkan oleh rangsang virus atau antigen diubah bentuknya menjadi limfosit atipik yang lebih besar. Sel-sel ini terdapat dalam jumlah besar pada mononukleosis infeksiosa, hepatitis infeksiosa, toksoplasmosis, campak, parotitis, beberapa reaksi alergi (misal, serum sickness, sensitivitas obat), dan limfoma maligna (Schrier, 1979). Selain limfositosis, pasien ini sering menunjukkan pembesaran hati, lien, dan kelenjar getah bening, yang semuanya merupakan tempat pembentukan limfosit.
Leukopenia menunjukkan jumlah leukosit yang menurun, dan neutropenia menunjukkan penurunan jumlah absolut neutrofil. Karena peran neutrofil pada pertahanan pejamu, maka jumlah neutrofil absolut yang kurang dari 1000/mm3 merupakan predisposisi terkena infeksi; jumlah di bawah 500 /mm3 merupakan predisposisi terhadap infeksi yang mengancam kehidupan yang sangat berbahaya. Neutropenia dapat disebabkan oleh pembentukan neutrofil yang tidak efektif dan gangguan pembentukan neutrofil, yang ditemukan pada anemia hipoplastik atau aplastik yang disebabkan oleh obat sitotoksik, zat-zat toksik, dan infeksi virus; kelaparan; dan penggantian sumsum tulang normal oleh sel-sel ganas, seperti pada leukemia.
Agranulositosis adalah keadaan yang sangat serius yang ditandai dengan jumlah leukosit yang sangat rendah dan tidak adanya neutrofil. Agen penyebab umumnya adalah obat yang mengganggu pemben¬tukan sel atau meningkatkan penghancuran sel. Obat-¬obat yang sering dikaitkan adalah agen-agen kemo¬terapi mielosupresif (menekan surnsurn tulang) yang digunakan pada pengobatan keganasan hematologi dan keganasan lainnya. Obat yang makin banyak dan sering digunakan seperti analgetik, antibiotika, dan anuhistamin, diketahui mampu menyebabkan neutro¬penia atau agranulositosis berat. Respons terhadap obat-obat ini berkaitan dengan dosis atau reaksi idiosinkrasi.
Perubahan kromosom rekuren terjadi pada lebih dari separuh kasus leukemia, dan terjadi hanya pada sel hematopoietik ganas (Bloomfield, Caligiuri, 2001).
Gejala agranulositosis yang sering dijumpai adalah infeksi, rasa malaise umum (rasa tidak enak, kele¬mahan, pusing, dan sakit otot) diikuti oleh terjadinya tukak pada membran mukosa, demam, dan takikardia. Jika agranulositosis tidak diobati, dapat terjadi sepsis dan kematian. Menghilangkan agen penyebab sering menghambat dan menyembuhkan proses tersebut disertai peningkatan pembentukan neutrofil dan unsur-unsur sumsum normal lainnya.
B. Sifat Pertahanan Netrofil dan Makrofag Terhadap Infeksi
Ternyata, netrofil dan makrofag jaringan yang terutama menyerang dan menghancurkan bakteri, virus, dan agen¬-agen merugikan lain yang menyerbu masuk ke dalam tubuh. Netrofil adalah sel matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri, bahkan di dalam darah sirkulasi. Sebaliknya, makrofag jaringan memulai hidup seba¬gai monosit darah, yang merupakan sel imatur walaupun tetap berada di dalam darah dan memiliki sedikit kemam¬puan untuk melawan agen-agen infeksius pada saat itu. Namun, begitu makrofag masuk ke dalam jaringan, sel-¬sel ini mulai membengkak kadang-kadang diameternya membesar hingga lima kali lipat—sampai sebesar 60 hingga 80 mikrometer, suatu ukuran yang hampir dapat dilihat dengan mata telanjang. Sel-sel ini sekarang dise-but makrofag, dan mempunyai kemampuan hebat untuk memberantas agen-agen penyakit di dalam jaringan.
Sel Darah Putih Memasuki Ruang Jaringan de¬ngan Cara Diapedesis. Netrofil dan monosit dapat terperas melalui pori-pori kapiler darah dengan cara diapedesis. Jadi, walaupun sebuah pori ukurannya jauh lebih kecil daripada sel, pada suatu ketika sebagian ke¬cil sel tersebut meluncur melewati pori-pori; bagian yang meluncur tersebut untuk sesaat terkonstriksi sesuai dengan ukuran pori, seperti yang terlihat pada Gambar 33-2.
Sel Darah Putih Bergerak Melewati Ruang Jaring¬an dengan Gerakan Ameboid. Netrofil dan makro¬fag dapat bergerak melalui jaringan dengan gerakan ame¬boid seperti yang dijelaskan di Bab 2. Beberapa sel dapat bergerak dengan kecepatan 40 /menit, sepanjang ukuran tubuhnya sendiri setiap menit.
Sel Darah Putih Tertarik ke Daerah Jaringan yang Meradang dengan Cara Kemotaksis. Banyak je¬nis zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan netrofi I dan makrofag bergerak menuju sumber zat kimia. Fenomena ini, seperti yang tampak pada Gambar 33-2, dikenal sebagai kemotaksis. Bila suatu jaringan mengalami pe¬radangan, sedikitnya terbentuk selusin produk yang dapat menyebabkan kemotaksis ke arah area yang mengalami peradangan. Zat-zat ini adalah (1) beberapa toksin bakteri atau virus, (2) produk degeneratif dari jaringan yang me¬radang itu sendiri, (3) beberapa produk reaksi “kompleks komplemen” (dibicarakan di Bab 34) yang diaktifkan di jaringan yang meradang, dan (4) beberapa produk reaksi yang disebabkan oleh pembekuan plasma di area yang me-radang, dan juga zat-zat lainnya.
Seperti yang terlihat pada Gambar 33-2, proses ke¬motaksis bergantung pada perbedaan konsentrasi zat-zat kemotaktik. Pada daerah dekat sumber, konsentrasi zat-¬zat ini paling tinggi, dan menyebabkan gerakan sel darah putih yang terarah. Kemotaksis efektif sampai jarak 100 mikrometer dari jaringan yang meradang. Karena hampir tidak ada area jaringan yang jauhnya lebih dari 50 mikro¬meter dari kapiler, maka sinyal kemotaktik dapat dengan mudah memindahkan sekelompok sel darah putih dari ka¬piler ke daerah yang meradang.
C. Fagositosis
Fungsi netrofil dan makrofag yang terpenting adalah fa¬gositosis, yang berarti pencernaan seluler terhadap agen yang mengganggu. Sel fagosit harus memilih bahan-ba¬han yang akan difagositosis; kalau tidak demikian, sel normal dan struktur tubuh akan dicerna pula. Terjadinya fagositosis terutama bergantung pada tiga prosedur selek¬tif berikut.
Pertama, sebagian besar struktur alami dalam jaringan memiliki permukaan halus, yang dapat menahan fagosito¬sis. Tetapi jika permukaannya kasar, maka kecenderungan fagositosis akan meningkat.
Kedua, sebagian besar bahan alami tubuh mempunyai selubung protein pelindung yang menolak fagositosis. Se¬baliknya, sebagian besar jaringan mati dan partikel asing tidak mempunyai selubung pelindung, sehingga jaringan atau partikel tersebut menjadi subjek untuk difagositosis.
Ketiga, sistem imun tubuh (dijelaskan dengan rinci di Bab 34) membentuk antibodi untuk melawan agen in¬feksius seperti bakteri. Antibodi kemudian melekat pada membran bakteri dan dengan demikian membuat bakte¬ri menjadi rentan khususnya terhadap fagositosis. Untuk melakukan hal ini, molekul antibodi juga bergabung de¬ngan produk C3 dari kaskade komplemen, yang merupa¬kan bagian tambahan sistem imun yang akan dibicarakan di Bab 34. Molekul C3 kemudian melekatkan diri pada reseptor di atas membran sel fagosit, dengan demikian memicu fagositosis. Proses seleksi dan fagositosis ini di¬sebut opsonisasi.
Fagositosis oleh Netrofil. Netrofil sewaktu memasuki jaringan sudah merupakan sel-sel matur yang dapat sege¬ra memulai fagositosis. Sewaktu mendekati suatu partikel untuk difagositosis, mula-mula netrofil melekatkan diri pada partikel kemudian menonjolkan pseudopodia ke semua jurusan di sekeliling partikel. Pseudopodia bertemu satu sama lain pada sisi yang berlawanan dan bergabung. Hal ini menciptakan ruangan tertutup yang berisi partikel yang sudah difagositosis. Kemudian ruangan ini berinva¬ginasi ke dalam rongga sitoplasma dan melepaskan diri dari membran sel bagian luar untuk membentuk gelem¬bung fagositik yang mengapung dengan bebas (juga di¬sebut fagosom) di dalam sitoplasma. Sebuah sel netrofi I biasanya dapat memfagositosis 3 sampai 20 bakteri sebe¬turn sel netrofil itu sendiri menjadi inaktif dan mati.
Fagositosis oleh Makrofag. Makrofag merupakan produk tahap akhir monosit yang memasuki jaringan dari dalam darah. Bila makrofag diaktifkan oleh sistem imun seperti yang dijelaskan di Bab 34, makrofag merupakan sel fagosit yang jauh lebih kuat daripada netrofil, sering kali mampu memfagositosis sampai 100 bakteri. Makro¬fag juga mempunyai kemampuan untuk menelan partikel yang jauh lebih besar, bahkan sel darah merah utuh, atau, kadang-kadang, parasit malaria, sedangkan netrofil tidak mampu memfagositosis partikel yang jauh lebih besar dari bakteri. Makrofag setelah memakan partikel, juga dapat mengeluarkan produk residu dan sering kali dapat bertahan hidup serta berfungsi sampai berbulan-bulan kemudian.
Setelah Difagositosis, Sebagian Besar Partikel Dicerna oleh Enzim Intraseluler. Segera setelah partikel asing difagositosis, lisosom dan granula sitoplasmik lainnya segera datang untuk bersentuhan dengan gelembung fagositik, dan membrannya bergabung dengan membran pada gelembung, selanjutnya mengeluarkan ba¬nyak enzim pencernaan dan bahan bakteri sidal ke dalam gelembung. Jadi, gelembung fagositik sekarang menjadi gelembung pencerna, dan segera dimulailah proses pencernaan partikel yang sudah difagositosis.
Netrofil dan makrofag, keduanya mempunyai sejum¬lah besar lisosom yang berisi enzim proteolitik yang khu¬sus dipakai untuk mencema bakteri dan bahan protein asing lainnya. Lisosom yang ada pada makrofag (tetapi tidak pada netrofil) juga mengandung banyak lipase, yang mencerna membran lipid tebal yang dimiliki oleh bebera¬pa bakteri tertentu seperti basil tuberkulosis.

Netrofil dan Makrofag Dapat Membunuh Bakte¬ri. Selain mencerna bakteri yang dicerna dalam fagosom, netrofil dan makrofag juga mengandung bahan bakteri ¬sidal yang membunuh sebagian besar bakteri, bahkan bila enzim lisosomal gagal mencerna bakteri tersebut. Hal ini menjadi demikian penting sebab beberapa bakteri mem¬punyai selubung pelindung atau faktor lain yang mence¬gah penghancurannya oleh enzim pencernaan. Banyak efek pembunuhan merupakan hasil dari beberapa bahan pengoksidasi kuat yang dibentuk oleh enzim dalam mem¬bran fagosom, atau oleh organel khusus yang disebut pe¬roksisom. Bahan pengoksidasi ini ialah sejumlah besar su¬peroksida (02-), hidrogen peroksida (H2O2 ), dan ion-ion hidroksil (—OH-), semuanya bersifat mematikan bagi sebagian besar bakteri, bahkan bila bahan pengoksidasi itu jumlahnya sedikit. Selain itu, salah satu enzim lisosom, yaitu mieloperoksidase, mengatalisis reaksi antara H2O2 dan ion klorida untuk membentuk hipoklorit, yang secara luas bersifat bakterisid.
Namun, beberapa bakteri, khususnya basil tuberkulo¬sis, mempunyai selubung yang bersifat resisten terha¬dap pencernaan oleh lisosom dan juga mengekresikan zat-zat yang memiliki ketahanan parsial terhadap efek pembunuhan dari netrofil dan makrofag. Bakteri seperti ini berperan pada banyak penyakit kronik, dan salah satu contohnya adalah tuberkulosis.

D. Peradangan Peran Netrofil dan Makrotag
Peradangan
Bila terjadi. cedera jaringan, entah karena bakteri, trauma, bahan kim ia, panas, atau fenomena lainnya, maka jaringan yang cedf--ra itu akan melepaskan berbagai zat yang me¬nimbulkan perubahan sekunder yang dramatis di sekeli¬ling jaringan yang tidak cedera. Keseluruhan kompleks perubahan jaringan ini disebut peradangan (inflamasi).
Peradangan ditandai oleh (1) vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan; (2) peningkatan permeabilitas kapiler, memungkinkan kebocoran banyak sekali cairan ke dalam ruang interstisial (3) sering kali terjadi pembekuan cairan di dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler da¬lam jumlah besar; (4) migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan (5) pembengkakan sel jaringan. Beberapa dari sekian banyak produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamnin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reak¬si sistem komplemen (yang dijelaskan di Bab 34), produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (bagian dari sistem imun juga dibicarakan di Bab 34). Beberapa dari substansi ini dapat mengaktifkan sistem makrofag dengan kuat, dan dalam waktu beberapa jam, makrofag mulai melahap jaringan yang telah dihan¬curkan. Tetapi pada suatu saat, makrofag selanjutnya juga dapat mencederai sel-sel jaringan yang masih hidup.
Pembatasan (“Walling Off”) Efek Peradangan. Salah satu efek pertama dari peradangan adalah pem¬batasan (“wall off”) area yang cedera dari sisa jaringan yang tidak, mengalami radang. Ruang jaringan dan cairan limfatik di daerah yang. meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga untuk sementara waktu hampir tidak ada cairan yang melintasi ruangan. Proses pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau produk toksik.
Intensitas proses peradangan biasanya sebanding dengan derajat cedera. jaringan. Contohnya, ketika sta¬filokokus yang memasuki jaringan melepaskan banyak sekali toksin yang mematikan sel-sel. Akibatnya, tim¬bul peradangan dengan cepat bahkan, jauh lebih cepat daripada kemampuan stafilokokus untuk menggandakan diri dan melakukan penyebaran. Jadi, infeksi stafilokokus setempat ditandai dengan cepat4ya pembentukan dinding pembatas dan pencegahan penyebaran ke seluruh tubuh. Sebaliknya, streptokokus tidak menimbulkan kerusakan jaringan lokal yang hebat. Sehingga, proses pembentukan dinding pembatas berjalan lamban selama beberapa jam, sementara banyak streptokokus yang berkembang biak dan bermigrasi. Akibatnya, streptokokus sering kali lebih cenderung menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan kematian daripada stafilokokus, walaupun sebenarnya stafilokokus jauh lebih merusak jaringan.


E. Respons Makrofag dan Netrofil Selama Peraclangan
Makrofag Jaringan Sebagai Uni Pertahanan Pertama Melawan Infeksi. Dalam waktu beberapa menit setelah peradangan dimulai, makrofag telah ada di dalam jaringan, berupa histiosit di jaringan subkutan, makrofag alveolus di paru, mikroglia di otak, atau yang lainnya, dan segera memulai kerja fagositiknya. Bila diaktifkan oleh produk infeksi dan peradangan, efek yang mula-mula ter¬jadi adalah pembengkakan setiap sel-sel ini dengan cepat. Selanjutnya, banyak makrofag yang, sebelumnya terikat kemudian lepas dari pelekatannya dan menjadi mobil, membentuk lini pertama pertahanan tubuh terhadap in¬feksi selama beberapa jam pertama. Jumlah makrofag yang mengalami mobilisasi dini ini sering kali tidak ba¬nyak tetapi. dapat menyelamatkan jiwa
Invasi Netrofil ke Daerah Peradangan Sebagai Lini Pertahanan Kedua. Dalam beberapa jam pertama setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan berasal dari jaringan yang meradang akan memicu reaksi berikut: (1) Produk terse¬but mengubah permukaan, bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan netrofil melekat pada dinding, kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut marginasi, dan di¬tunjukkan pada Gambar 32-2. (2) Produk ini menyebab¬kan longgamya pelekatan interseluler antara sel endotel kapiler dan sel endotel venula kecil sehingga, terbuka cu¬kup lebar, dan memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari darah ke dalam ru¬ang jaringan. (3) Produk peradangan lainnya akan menye¬babkan kemotaksis netrofil menuju jaringan yang cedera, seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Jadi, dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat tersebut akan diisi oleh ne¬trofil. Karena netrofil darah telah berbentuk sel matur, maka sel-sel tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh bakteri dan menyingkirkan bahan-bahan Asing.
Peningkatan Akut Jumlah Netrofil dalam Da¬rah—”Netrofilics”. Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akut yang berat, jumlah netrofil di da¬lam darah kadang-kadang meningkat, sebanyak empat sampai lima kali lipat dari jumlah normal (4000 sampai 5000) menjadi 15.000 sampai 25.000 netrofil per mikro¬liter. Keadaan ini disebut netrofilia, yang berarti terjadi peningkatan jumlah netrofil dalam darah. Netrofilia di¬sebabkan oleh produk peradangan yang memasuki aliran darah, kemudian diangkut ke sumsum tulang, dan di situ bekerja pada netrofil yang tersimpan dalam sumsum un¬tuk menggerakkan netrofil-netrofil ini ke sirkulasi darah. Hal ini membuat lebih banyak lagi netrofil yang tersedia di area jaringan yang meradang.
Invasi Mokrofag Kedua ke Jaringan Inflamasi Sebagai Lini Pertahanan Ketiga. Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaring¬an yang meradang dan membesar menjadi makrofag. Namun, jumlah monosit dalam sirkulasi darah sedikit: tempat penyimpanan monosit di sumsum tulang juga jauh lebih sedikit daripada netrofil. Oleh karena itu, pembentuk¬an makrofag di area jaringan yang meradang jauh lebih lambat daripada netrofil, dan memerlukan waktu bebera¬pa hari supaya menjadi efektif Selanjutnya, bahkan se¬telah menginvasi jaringan yangmeradang, monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau lebih untuk membengkak ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom dalam jumlah yang sangat ba¬nyak; barulah kemudian mencapai kapasitas penuh seba¬gai makrofag jaringan untuk proses fagositosis. Ternyata setelah beberapa hari sampai beberapa minggu, makro¬fag akhirnya datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area yang meradang, karena produksi monosit baru yang sangat meningkat dalam sumsum tulang, seperti yang di¬bahas kemudian.
Seperti yang telah dijelaskan, makrofag dapat mem¬fagositosis jauh lebih banyak bakteri (kira-kira lima kali lebih banyak) dan partikel yang jauh lebih besar, bahkan termasuk netrofil itu sendiri dan sejumlah besar jaringan nekrotik, daripada yang dapat dilakukan oleh netrofil. Makrofag juga berperan penting dalam memicu pemben¬tukan antibodi, seperti yang dibicarakan di Bab 34.
Peningkatan Produksi Granulosit dan Monosit oleh Sumsum Tulang Sebagai Lini Pertahanan Keempat. Lini pertahanan tubuh yang keempat adalah peningkatan hebat produksi granulosit dan monosit oleh sumsum tulang. Hal ini disebabkan oleh perangsangan sel-sel progenitor granulositik dan monositik di sumsum. Namun, hal tersebut memerlukan waktu 3 sampai 4 hari sebelum, granulosit dan monosit yang baru terbentuk ini mencapai tahap meninggalkan sumsum tulang. Jika te¬rus menerus terdapat perangsangan dari jaringan yang meradang, maka sumsum tulang dapat terus menerus memproduksi sel-sel ini dalam jumlah yang banyak se¬kali selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun, kadang-kadang dengan kecepatan-produksi 20 sampai 50 kali di atas normal.
Pengaturan Umpan Balik Terhadap Respons Makrofag dan Netrofil
Walaupun terdapat lebih dari dua lusin faktor yang terlibat dalam pengaturan respons makrofag terhadap peradang¬an, lima di antaranya dipercaya memiliki peran yang do¬minan. Faktor-faktor ini diperlihatkan pada Gambar 33-6 dan terdiri dari (I) faktor nekrosis tumor (TNF), (2) inter¬leukin-1 (IL-1), (3) faktor perangsang-koloni granulosit¬monosit (GM-CSF), (4) faktor perangsang-koloni granu¬losit (G-CSF), dan (5) faktor perangsang-koloni monosit (M-CSF). Faktor-faktor ini dibentuk oleh sel makrofag yang teraktivasi di jaringan yang meradang, dan sebagian kecil dibentuk oleh sel-sel jaringan yang meradang.

GAMBAR 33-6. Pengaturan produksi granulosit dan monosit ¬makrofag oleh sumsum tulang sebagai respons terhadap berbagai faktor pertumbuhan yang dilepaskan dari makrograf yang teraktivasi dalam jaringan yang meradang. G-CSF, faktor perangsang-koloni granulosit; GM-CSF, faktor perangsang-koloni granulosit-monosit; IL-1, interleukin-1; M-CSF, faktor perangsang-koloni monosit; TNF, faktor nekrosis tumor.
Penyebab peningkatan produksi granulosit dan mo¬nosit oleh sumsum tulang ini terutama adalah tiga fak¬tor perangsang-koloni, satu di antaranya, GM-CSF, me¬rangsang produksi granulosit maupun monosit; dan dua lainnya, G-CSF dan M-CSF, berturut-turut merangsang granulosit dan monosit. Kombinasi antara TNF, IL-1, dan faktor perangsang-koloni merupakan mekanisme umpan balik yang kuat yang dimulai dengan peradangan jaringan, kemudian berlanjut membentuk sejumlah besar sel darah putih pertahanan yang membantu untuk menghilangkan penyebab radang.
Pembentukan Pus
Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bak¬teri dan jaringan nekrotik, pada dasarnya semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati. Sesu¬dah beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cair¬an jaringan. Campuran seperti ini biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi dapat ditekan, sel-sel mati dan ja¬ringan nekrotik yang terdapat dalam pus secara bertahap akan mengalami autolisis dalam waktu beberapa hari, dan kemudian produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam ja¬ringan sekitar dan cairan limfe hingga sebagian besar tan¬da kerusakan jaringan telah hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar